MAKNA DAN RELASI MAKNA

1.    Pengertian
Relasi makna adalah hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan lainnya (Abdul Chaer, 2013).
2.    Jenis-jenis
a.     Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik menurut Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain (Abdul Chaer, 2013). Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Dua buah kata yang bersinonim kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih dan kesamaanya tidak bersifat mutlak (Zgusta dan Ullman dalam Abdul Chaer). Tidak mutlak sebab ada prinsip semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaanya hanya sedikit. Kata-kata yang bersinonim itu tidak memiliki makna yang persis sama. Menurut teori Verhaar yang sama tentu adalah informasinya, padahal informasi ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak ada dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Ketidakmungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain, yang bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara lain: faktor waktu, faktor tempat atau daerah, faktor sosial, faktor bidang kegiatan dan faktor nuansa makna. Sinonim tidak hanya terjadi pada kata, tetapi bisa dalam satuan bahasa lainnya seperti: morfem bebas dengan morfem terikat, kata dengan kata, kata dengan frase, frase dengan frase dan kalimat dengan kalimat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai sinonim:
1.     Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim.
2.  Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian.
3.    Ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar, tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian.
4.  Ada kata-kata yag dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim.
b.      Antonimi atau Oposisi
Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’.  Maka secara harfiah antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain (Abdul Chaer, 2013). Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah. Antonim terdapat pada semua tataran bahasa, tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Hanya mencari contohnya dalam setiap bahasa tidak mudah. Antonim pun, sama halnya dengan sinonim, tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya barangkali dalam batasan diatas, Verhaar menyatakan “yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi hanya dianggap kebalikan bukan mutlak berlawanan. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras saja. Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat dibedakan menjadi :
1.     Oposisi mutlak, yaitu terdapat pertentangan makna secara mutlak.
2. Oposisi kutub, yaitu makna kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat garadasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata. Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif.
3.   Oposisi hubungan, yaitu makna kata-kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Kata-kata yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja. Selain itu, bisa berupa kata benda.
4. Oposisi hierarkial yaitu, makna kata-kata yag beroposisi hierarkial ini menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Kata-kata yang beroposisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya.
5. Oposisi majemuk yaitu, oposisi di antara dua buah kata. Namun, dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia ada kata-kata yang beroposisi lebih dari satu kata. 
c.     Homonimi, Homofoni, dan Homografi
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onomo yang artinya ‘nama’ dan homo artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama (Abdul Chaer, 2013). Dalam bahasa Indonesia banyak juga homonimi yang terdiri lebih dari tiga buah kata. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta di dalam kata yang berhomonimi digunakan angka Romawi, tetapi dalam Kamus Bahasa Indonesia (1983) oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) juga oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kata-kata yang berhomonimi itu ditandai dengan angka Arab. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah. Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonimi :
a.  Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan.
b.     Bentuk-bentuk yang berhomonim itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.
Sama halnya dengan sinonim, antonim, homonimi ini dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
1.    Homonimi antarmorfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya.
2.     Homonimi antarfrase
3.     Homonimi antarkalimat 
d.     Hiponimi dan Hipernimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hype berarti ‘dibawah’. Jadi, secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik Verhaar (1978) menyatakan hiponim ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Jika relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah maka relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Definisi Verhaar disebutkan bahwa hiponim kiranya terdapat pula dalam bentuk frase dan kalimat. Namun, kiranya sukar mencari contohnya dalam bahasa Indonesia karena juga hal ini lebih banyak menyangkut masalah logika dan bukan masalah linguistik. Ole karena itu, menurut Verhaar masalah ini dapat dilewati saja, tidak perlu dipersoalkan lagi. Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada diatasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda tetapi agak sukar pada kata kerja dan kata sifat. Di samping istilah hiponimi ada pula istilah yang disebut meronimi. Kedua istilah ini mengandung konsep yang hampir sama. Bedanya adalah kalau hiponimi menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang maknanya berada di bawah makna kata lain, sedangkan meronimi menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang  merupakan bagian dari kata lain. 
e.     Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa ( terutama kata, bisa juga frasa) yang memiliki makna lebih dari satu. Menurut pembicaraan terdahulu setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni yang disebut makna leksikal dan makna yang sesuai dengan referennya. Dalam perkembangan selanjutnya komponen-komponen makna ini berkembang menjadi makna-makna tersendiri. Makna-makna yang bukan makna asal dari sebuah kata bukanlah makna leksikal sebab tidak merujuk kepada referen dari kata itu yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama. Homonimi bukan sebuah kata maka maknanya pun berbeda, di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagai entri-entri yang berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalamnya kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makna pada bentuk-bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungannnya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.
f.      Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Polisemi  juga bermakna ganda. Polisemi dan ambiguitas sama-sama bermakna ganda hanya kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena stuktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Namun, dalam bahasa tulis penafsiran ganda ini dapat saja terjadi jika penanda-penanda ejaan tidak lengkap diberikan. Perbedaan ambiguitas dengan homonimi dilihat sebagai bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah semua bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran stuktur gramatikal bentuk tersebut. Ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat, sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal (morfem, kata, frase, dan kalimat). 
g.     Redudansi


Istilah redundansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Makna adalah suatu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon), sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujran (utterence-external).